Tari Adat Ujungan – Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan dan adat yang berbeda – beda antara satu daerah dengan daerah – daerah lainnya. Salah satu kebudayaan yang wajib kita lestarikan adalah tari adat.
Pada artikel ini, seringjalan.com akan membahas tentang Tari Adat Ujungan yang berasal dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Seperti apa sejarah serta makna dari tari yang satu ini? Berikut ulasannya.
Sejarah Tari Adat Ujungan
Tari Ujungan merupakan salah satu adat tradisional dari masyarakat Banjarnegara, khususnya di wilayah Gumelem, yang masih rutin dilaksanakan sampai sekarang. Tari ini awalnya merupakan bentuk doa dan usaha masyarakat Banjarnegara dalam memohon diturunkannya hujan oleh Yang Maha Kuasa.
Ada beberapa pendapat yang populer mengenai asal muasal dari Tari Ujungan. Pada pendapat yang pertama, kata ujungan disebut berasal dari kata “ngujung” yang berarti sowan, sungkem, sujud, atau menyembah. Karena pada intinya pelaksanaan upacara adat Ujungan adalah memohon turunnya hujan kepada Tuhan.
Pendapat kedua menyebutkan bahwa ujungan merupakan pertandingan antara dua orang dengan cara saling pukul dengan menggunakan rotan yang disebut dengan istilah ujung. Secara filosofis, ujungan berasal darikata ujung yang berarti puncak yang merupakan bentuk dari puncak kehendak manusia yang menginginkan datangnya hujan bagi kelestarian hidup manusia.
Baca Juga ya :
- Kunjungi 10 Tempat Wisata di Pati Jawa Tengah
- Inilah Tari Wira Pertiwi Tari Kreasi Baru Asal Jawa Tengah
Pendapat lain mengatakan bahwa asal mula Tari Ujungan merupakan bentrok fisik antar petani desa Gumelem dan Penerusan. Area sawah yang saling berbatasan antara kedua daerah tersebut membuat sering terjadi konflik dalam memperebutkan air bersih antara kedua desa dan berunjung dengan perkelahian.
Dan pada akhirnya, sesepuh desa mempunyai ide untuk menyelesaikan perselisihan dengan cara mengadu warga yang mempunyai kekuatan fisik prima atau kekuatan ilmu satu lawan satu sebagai lawan desa masing-masing. Pemenang akan berhak mengatur suplai air ke sawah-sawah kedua desa.
Pertarungannya sendiri dilaksanakan pada siang hari dan bertempat di lapangan dengan menggunakan rotan sebagai pemukul. Jika sampai sore hari belum ada pemenangnya, maka dapat dilanjutkan hari berikutnya, begitu seterusnya sampai berhari-hari apabila belum juga diketahui siapa yang menang.
Sampai pada akhirnya di tengah berlangsungnya pertarungan datanglah hujan besar yang mengguyur arena pertarungan. Dengan turunnya hujan, masyarakat percaya bahwa semakin banyak darah yang tumpah maka hujan akan semakin cepat turun. Masyarakat setempat menganggap bahwa datangnya hujan adalah puncak atau ujung yang merupakan cara Tuhan menyelesaikan pertikaian kedua warga desa.
Olah kerena itu, pada tahun – tahun berikutnya masyarakat desa Gumelem dan Penerusan rutin menggelar upacara Ujungan sebagai upaya mereka dalam meminta air hujan di musim kemarau. Tradisi tersebut terus berkembang dan dilestarikan sampai hari ini.
Makna dan Nilai yang Terkandung Dalam Tari Adat Ujungan
Pelaksanaan ujungan pada prinsipnya adalah sebuah media permohonan manusia agar Tuhan mengabulkan sebuah permintaan. Dengan demikian, Tari Ujungan dapat dikatakan merupakan cara lain dari masyarakat Gumelem dalam melaksankan doa kepada Tuhan.
Adapun doa yang dipersembahkan kepada Tuhan adalah permintaan akan datangnya hujan yang berguna untuk kelestarian hidup di dunia. Adapun nilai-nilai yang dapat diambil dari upacara adat Ujungan ini diantaranya :
- Nilai sportivitas, pada akhir pertarungan kedua peserta berjabat tangan dan tidak ada dendam diantara para peserta.
- Nilai cinta pada budaya lokal, karena pada dasarnya pelaksanaan upacara adat Ujungan merupakan salah satu upaya pelestarian budaya di Banjarnegara.
- Nilai silaturahmi, karena peserta tidak hanya warga masyarakat setempat tetapi terbuka untuk umum sehingga memungkinkan untuk bersilaturahmi.
- Nilai pendidikan, dimana di Tari Ujungan ini mengajarkan anak agar tidak menyalahgunakan ilmu bela diri yang dimiliki.
Tata Cara Dilaksanakannya Tari Ujungan
Tari Ujungan adalah sebuah ritual adu fisik yang dilaksanakan dengan menggunakan rotan berukuran 60 cm sebagai alat pemukul, serta diiringi dengan musik gamelan dan obong menyan.
Namun sebagai bentuk seni, bela diri, sekaligus olahraga tradisional, didalamnya terdapat aturan main yang harus disepakati oleh kedua pihak. Dimana penari Ujungan hanya diperbolehkan memukul mulai dari pusar sampai mata kaki dan pada akhir pertandingan para penari diwajibkan saling berjabat tangan. Dalam pertandingan itu juga dipimpin oleh seorang wasit yang disebut “wlandang ”.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.