Sejarah Dan Makna Tari Bedhaya Ketawang – Tari Bedhaya Ketawang adalah salah satu tarian tradisional dari Surakarta, Jawa Tengah, sama seperti Tari Bondan.
Tarian ini mengandung tuntutan pendidikan filsafat disampaikan melalui ekspresi, gerak, irama dan rasa dari para penarinya.
Dikatakan para penari Bedhaya harus punya 2 syarat, yakni yang pertama mengenal cerita rakyat dan legenda, sajak serta pengetahuan mengenai lakon utama.
Selanjutnya yang kedua, mereka harus akrab juga soal sejarah tanah air, makna dari setiap intonasi dan naik turun gamelan, pada dasarnya semua hal dalam cerita kuna.
Penasaran soal sejarah dan makna Tari Bedhaya Ketawang?
Berikut ini ada ringkasan mengenai sejarah dan makna Tari Bedhaya Ketawang yang bisa kamu pelajari.
Sejarah Dan Makna Tari Bedhaya Ketawang
-
Sejarah Tari Bedhaya Ketawang
Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian kebesaran hanya dipentaskan saat penobatan ataupun Tingalan Dalem Jumenengan Sunan Surakarta, yakni upacara peringatan kenaikan tahta raja.
Sejarah dan makna Tari Bedhaya Ketawang, nama tarian ini sendiri berasal dari kata bedhaya yang memiliki arti penari wanita di istana, sedangkan ketawang artinya langit atau identik dengan sesuatu yang tinggi, luhur dan mulia.
Tarian khas Bedhaya menjadi sebuah tarian yang sakral nan suci sebab menyangkut Ketuhanan Terdapat beberapa versi sejarah awal tarian ini, berikut ini di antaranya:
1. Menurut R.T Warsadiningrat
Menurut R.T Warsadiningrat, yakni seorang abdi dalem niyaga keraton Surakarta, Tari Bedhaya pada awalnya dibawakan oleh 7 orang penari. Kemudian, Kanjeng Ratu Kidul menambahkan 2 orang penari sehingga penari menjadi 9 orang.
Tari Bedhaya diciptakan oleh Bathara Guru tahun 167 menurut R.T Warsadiningrat. Formasi awal adalah 7 orang dan mereka menarikan tarian Lenggotbawa mengikuti iringan Gamelan berlaras pelog pathet lima.
2. Menurut GPH.Kusumadiningrat
Menurut GPH. Kusumadiningrat Tari Bedhaya Ketawang idiciptakan oleh Bathara Wisnu ketika duduk di Balekembang Kahyangan Utarasegara.
Berawal dari tujuh buah permata indah yang dipuja kemudian berubah wujud jadi tujuh bidadari. Para bidadari tersebut selepasnya menari mengitari Bathara Wisnu dari arah kanan.
3. Menurut Sultan Pakubuwana X
Menurut Sultan Pakubuwana X Tari Bedhaya Ketawang merupakan lambang cinta Kanjeng Ratu Kidul (Ratu Kencana Sari) pada Panembah Senapati, raja kesultanan Mataram ke-1, saat beliau bermunajat di Pantai Parangkusuma.
Semua gerakan tariannya menggambarkan bujuk rayu tetapi selalu ditolak oleh Panembahan Senapati.
Maka dari itu, Ratu Kidul pun memohon kepada Panembahan Senapati agar tidak pergi dan tinggal di Samudera Kidul serta bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana.
Meskipun Panembahan Senapati tidak menuruti kehendak Ratu Kidul, sebagai gantinya sang panembah berkenan memperistri Ratu Kidul secara turun – temurun. Ini pun berlaku sebaliknya.
Apabila Panembahan Senapati dan seluruh raja Dinasti Mataram ataupun keturunannya menyelenggarakan pergelaran Tari Bedhaya Ketawang, Ratu Kidul dimohon untuk menyambangi daratan untuk mengajarkan tarian ini kepada para abdi dalem bedhaya (penari keraton).
4. Menurut Sri Sekar Setyosih, S.Kar., M.Sn. (Dosen Prodi Seni Tari ISI Surakarta, 2017)
Mengacu pada kitab Wedhapradangga, Tari Bedhaya Ketawang diciptakan oleh seorang Sultan Agung Hanyakrakusuma, yakni seorang raja kesultanan Mataram ke-4.
Sultan Agung yang ketika itu sedang bersemedi tiba – tiba mendengar sayup suara tiupan angin mengenai angkup (sejenis binatang yang berterbangan).
Namun ternyata suara yang didengarnya ini lebih mirip suara kemanak Gamelan Lokananta (gamelan khayangan). Dari iringan gamelan tersebut, lalu terdengar senandung gaib menyuarakan lagu indah yang agung nan berwibawa.
Saking terpesonanya, Sultan Agung Hanyakrakusuma pada pagi harinya memanggil para empu karawitan untuk membuat gendhing berdasarkan kejadian yang dialaminya tersebut.
Konon saat proses pembuatan gendhing, Sultan Agung Hanyakrakusuma didatangi secara gaib oleh Sunan Kalijaga dan mengatakan turut berbahagia.
Sunan Kalijaga juga menyatakan bahwa karya tersebut nantinya akan jadi pusaka luhur para raja Dinasti Mataram dari keturunan Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Selain itu, sang sunan turut berpesan untuk menyembunyikan gendhing tersebut ketika hari Anggara Kasih agar raja dan rakyat senantiasa damai.
Setelah Gendhing Ketawang selesai dibuat, Sultan Agung Hanyakrakusuma meminta delapan orang untuk menarikan Tari Bedhaya Ketawang yang diambil dari anak perempuan setiap bupati nayaka (menteri kerajaan).
Agar genap jadi 9 penari, maka diputuskan untuk dipilih satu orang lagi, yaitu cucu perempuan pepatih dalem (perdana menteri kerajaan).
-
Sifat Dan Makna Tari Bedhaya Ketawang
Selanjutnya dalam sejarah dan makna Tari Bedhaya Ketawang, ada pembahasan soal sifat dan makna tarian ini.
Berdasarkan KGPH. Panembahan Hadiwijaya Maharsitama, Tari Bedhaya Ketawang mengandung sifat dan makna adalah sebagai berikut:
1. Adat Upacara
Tari Bedhaya memiliki kedudukan sebagai sebuah tarian pusaka yang hanya ditampilkan pada waktu yang sangat khusus.
Selama tarian berlangsung, suasana harus hening dan semua yang hadir tidak diperkenankan berbicara, mengeluarkan hidangan ataupun merokok
2. Sakral
Tari Bedhaya Ketawang sangat sakral. Menurut kepercayaan keraton, saat tarian ini dilakukan Kanjeng Ratu Kidul hadir di antara para tamu hanya saja tidak semua orang dapat melihatnya.
Konon katanya, Ratu Kidul pun ikut serta mengawasi bahkan membetulkan kesalahan yang dilakukan oleh para penari ketika mereka berlatih.
3. Religius
Gendhing pada tarian ini memiliki lirik, salah satunya yaitu “…tanu astra kadya agni urube, kantar-kantar kyai, yen mati ngendi surupe kyai?” atau artinya “…kalau meninggal, kemana tujuannya kyai?”
Dari lirik tersebut, dapat menjadi pengingat bahwa setiap manusia akan mati sehingga penting untuk selalu berbuat kebaikan serta berbakti kepada Tuhan.
4. Asmara
Tari Bedhaya Ketawang melambangkan kisah asmara Kanjeng Ratu Kidul dan Panembahan Senapati. Dalam setiap gerakan tariannya, tersirat makna tersebut.
Gerakannya begitu halus sehingga orang awam dapat memahaminya.
-
Musik Pengiring Tari Bedhaya Ketawang
Gendhing dalam Tari Bedhaya Ketawang adalah Gendhing Ketawang atau Gendhing Ketawang Gedhe yang bersifat sakral dan khusus sehingga tidak dapat dijadikan Gendhing Klenengan (untuk hiburan) sebab bentuk asalnya termasuk dalam tembang gerong.
Berbeda dengan Sejarah Dan Makna Tari Kijang dari Jawa Barat yang bisa menjadi bagian dari pertunjukkan hiburan.
Gamelan sebagai musik pengiringnya terdiri dari gong, kethuk, kenong, kendhang dan kemanak.
Iramanya akan berpindah selama beberapa saat dari pelog ke slendro sampai 2 kali di tengah pertunjukkan, lalu kembali ke laras pelog sampai selesai.
Bagian pertama diisi sindenan (lagu) Durma dan berganti ke sindenan Retnamulya. Ketika mengiringi penari keluar, instrumen gamelan tadi ditambah dengan rebab, gender, gambang dan suling.
-
Penari Tari Bedhaya Ketawang
Tari Bedhaya Ketawang ini dibawakan oleh sembilan orang yang dilatih oleh para abdi dalem putri atau mantan penari keraton yang telah diangkat oleh Sunan menjadi pelatih tari klasik.
Pada awalnya, syarat penari Bedhaya Ketawang adalah seorang putri yang masih perawan, suci lahir dan batin dan bukanlah putri sunan.
Syarat tersebut ini lalu berubah pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwana XII tahun 1980 sesuai dengan sejarah dan makna Tari Bedhaya Ketawang.
Putri sunan maupun penari luar apabila memiliki kemampuan diperbolehkan menarikan tarian ini, dengan catatan harus meminta izin kepada Kanjeng Ratu Kidul secara batiniah.
Pelatih Tari Bedhaya Ketawang memberikan sebutan untuk para penari sesuai dengan tahapan latihan, yaitu:
1. Penari Magang
Jumlahnya adalah 36 orang Surakarta dan bukan merupakan kerabat keraton.
2. Penari anggara kasih
Jumlahnya adalah 5 orang yang terpilih dari 36 orang penari magang setelah mendapatkan izin pada saat latihan di hari anggara kasih atau selasa Kliwon.
3. Abdidalem Bedhaya
Merupakan para penari yang terpilih menjadi penyaji tari pada hari latihan anggara kasih.
Penari juga memiliki beberapa nama khusus sesuai dengan posisi dan perannya selama persembahan Tari Bedhaya Ketawang berlangsung, yaitu:
-
- Batak (pikiran dan jiwa)
- Endhel Ajeg (keinginan hati / nafsu)
- Endhel Weton (tungkai kanan)
- Apit Ngarep (lengan kanan)
- Apit Mburi (lengan kiri)
- Apit Meneng (tungkai kiri)
- Gulu (badan)
- Dhadha (badan)
- Boncit (organ seksual)
-
Busana Tari Bedhaya Ketawang
Busana para penari Bedhaya Ketawang adalah dodot ageng atau disebut basahan, yakni busana yang biasanya digunakan oleh pengantin perempuan Jawa.
Sesuai sejarah dan makna Tari Bedhaya Ketawang, busana penari tarian ini didominasi dengan warna hijau sebagai penggambaran kisah asmara Kanjeng Ratu Kidul dengan Raja Mataram.
Penari menggunakan gelung bokor mengkurep, yaitu gelungan berukuran lebih besar daripada gelungan gaya Yogyakarta.
Kemudian, dilengkapi pula dengan berbagai aksesoris perhiasan yang terdiri dari centhung, cundhuk mentul, garudha mungkur, sisir jeram saajar dan tiba dhadha (rangkaian bunga melati di gelungan yang memanjang sampai ke dada bagian kanan).
Demikianlah artikel mengenai sejarah dan makna Tari Bedhaya Ketawang. Semoga bermanfaat!
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.