Tari Payung Berasal Dari Suku Minangkabau di provinsi Sumatera Barat. Tentunya kamu tidak asing mendengar nama Tari Payung bukan. Tarian adat yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat ini hampir tak pernah absen dari buku pelajaran anak sekolah. Sesuai namanya, tentu saja properti yang digunakan pada tarian ini adalah payung.
Kamu tahu nggak kalau ternyata payung yang digunakan dalam Tari Payung bukan sekadar properti, namun juga mengandung makna tersendiri. Seperti tari tradisional yang lain, tentu saja Tari Payung ini memiliki makna filosofis di setiap gerakan dan properti yang digunakannya. Yuk kita kupas sama-sama Tari Payung dari Sumatera Barat ini.
Sejarah Tari Payung
Pada masa penjajahan Belanda, Tari Payung berkaitan dengan seni drama yang dikenal dengan nama toonel. Drama toonel merupakan kesenian yang dipengaruhi oleh sekelompok seniman asal Semenanjung Malaya.
Pada dasarnya, toonel adalah semacam pertunjukan seni komedi bangsawan Melayu di Sumatera Barat. Saat itu, Tari Payung menjadi tarian selingan antara babak satu dengan yang lain dalam pertunjukan toonel.
Pada awal tahun 1920-an, seseorang bernama Muhammad Rasjid Manggis untuk pertama kalinya menata Tari Payung dalam bentuk tari teater. Kemudian, seorang wanita bernama Sitti Agam yang merupakan teman seangkatan Muhammad Rasjid, melanjutkan perjalanan membesarkan Tari Payung.
Sitti Agam juga merupakan wanita yang pertama kali menari di atas pentas. Beliaulah yang menata sekaligus menarikan Tari Payung dalam pertunjukan toonel yang ia sutradarai sendiri.
Bahkan di tangan Sitti Agam, pada awalnya penari pria digantikan perannya oleh wanita. Sehingga 3-4 pasang penari yang mementaskan Tari Payung semuanya adalah wanita.
Hal ini dipicu oleh larangan bekerja di luar rumah bagi wanita di masyarakat Minangkabau. Melalui Tari Payung yang dibesarkannya ini, Sitti Agam bermaksud mendorong derajat kaum wanita, terutama dalam bidang kesenian.
Baca juga:
Makna dan Pesan Tari Payung
Sebagai orang yang membesarkan Tari Payung, Sitti Agam juga yang menciptakan tema pergaulan muda-mudi. Secara naratif, Tari Payung bercerita tentang sepasang muda-mudi yang bertamasya ke Sungai Tanang, suatu pemandian di Bukittinggi.
Sementara itu, pemaknaan lebih dalam tentang Tari Payung adalah wujud perlindungan suami kepada istrinya dalam berumah tangga. Payung yang digunakan oleh penari pria dalam Tari Payung ini adalah lambang perlindungan oleh pria, sementara selendang yang digunakan si penari wanita melambangkan kesetiaan dan ikatan cinta yang kuat.
Layaknya pernikahan pada umumnya, yang selalu membutuhkan kasih sayang, kesetiaan, dan rasa dilindungi. Meskipun zaman semakin berkembang, namun pesan yang terkandung dalam Tari Payung tetap relate dengan kehidupan rumah tangga masyarakat masa kini.
Gerakan Tari Payung
Tari Payung memiliki karakteristik tari Minangkabau pada masa 1920-an yang cenderung lemah lembut. Gerak tari diibaratkan sebagai gerak “siganjua lalai, pado suruik maju nan labiah.
Alu tatarung patah tigo, samuik tapijak indak mati” yang jika dalam Bahasa Indonesia artinya “pada surut maju yang lebih. Alu tertaruang patah tiga, semut terpijak tidak mati.” Kalimat tersebut merupakan ungkapan dari gerak yang lemah lembut, namun tetap mengandung ketajaman dan kekuatan.
Lagu Pengiring dan Kostum Penari
Sama seperti tarian adat pada umumnya, Tari Payung ditampilkan dengan diiringi lagu tertentu. Lagu pengiring yang digunakan dalam pementasan Tari Payung adalah lagu syair berjudul Babendi-bendi ke Sungai Tanang.
Lagu ini mengisahkan tentang sepasang suami istri yang sedang berbulan madu di Sungai Tanang. Syait lagu Babendi-bendi ke Sungai Tanang ini diiringi oleh paduan beberapa alat musik, antara lain talempong, akordion, violin, dan gitar.
Kostum yang digunakan oleh penari wanita adalah pakaian adat berupa baju kurung atau kebaya, bawahan berbahan kain songket dan mahkota berwarna emas. Sedangkan penari pria memakai pakaian teluk belanga dengan kerah cekak musang lengkap dengan celana panjangnya, kain sesamping, dan peci hitam.
Perkembangan Tari Payung
Setelah Tari Payung dibawa ke panggung pentas oleh Sitti Agam, masih banyak seniman-seniman lain yang ikut melengkapi dan menyempurnakan Tari Payung, dari Hoerijah Adam sampai Sjofyani Yusaf, sehingga menjadi Tari Payung yang kita kenal sekarang.
Di zaman modern ini, telah banyak orang mengkreasikan Tari Payung, menambah, mengurangi, dan mengubah gerakan sesuai dengan kebutuhan. Bahkan Tari Payung yang sudah dikreasikan sering dipentaskan oleh anak-anak.
Kini, Tari Payung yang merupakan budaya orang Minang ini menjadi bagian dari serangkaian acara pernikahan di daerah Minangkabau. Selain di acara pernikahan, Tari Payung juga ditampilkan di berbagai acara festival budaya daerah.
Itulah ulasan tentang Tari Payung. Walaupun zaman semakin berkembang dan terjadi arus globalisasi yang besar, namun kita tidak semestinya melupakan kekayaan budaya Indonesia. Yuk, cari tahu lagi tentang tari tradisional lain dari berbagai wilayah di Indonesia. Kamu sudah mulai dari Tari Payung, loh!
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.