Kecamatan Bungku Tengah, atau lebih dikenal dengan Kota Bungku, merupakan pusat pemerintahan dari Kabupaten Morowali di Sulawesi Tengah. Kota ini berbatasan langsung dengan Laut Banda. Dilewati oleh enam sungai dan diapit oleh tiga gunung, luas kota ini sebesar 725,37 kilometer persegi. Menurut Kecamatan Bungku Tengah Dalam Angka 2019, Bungku Tengah pada tahun 2018 memiliki sekitar 38.467 penduduk.
Sejarah Kota Bungku
Kota Bungku awalnya merupakan suatu kerajaan di Kabupaten Morowali. Bungku sendiri memiliki beberapa pengertian. Pertama, merujuk kepada etnis Bungku, yaitu satu dari 12 etnis yang bertempat tinggal di Provinsi Sulawesi Tengah. Kedua, merujuk kepada wilayah Tambuku/Tombuku (Bungku) yang terletak di Kabupaten Morowali.
Sebagai wilayah, daerah Bungku merupakan wilayah kekuasaan eks Kerajaan Bungku. Kerajaan Bungku awalnya didirikan karena sikap Pemerintah Hindia Belanda yang sewenang-wenang. Pemerintah Hindia Belanda berkeinginan untuk mengikat seluruh kerajan di Sulawesi Tengah ke dalam perjanjian yang menguntungkan mereka sendiri. Jika menolak, kerajaan-kerajaan tersebut akan diserang dan wilayah kerajaan akan dipecah-pecah. Kerajaan yang saat itu menolak perjanjian tersebut adalah Kerajaan Mori, dan kerajaan tersebut dipecah dua menjadi Kerajaan Mori dan Kerajaan Bungku.
Tidak banyak informasi yang memuat sejarah Kerajaan Bungku. Kerajaan ini berdiri pada awal abad ke-20, namun dokumen yang memuat kerajaan ini masih terpisah-pisah. Selama ini pun sumber sejarah Kerajaan Bungku masih sebatas cerita dari mulut ke mulut.
Wisata di Kota Bungku
Puncak Fafobaho
Puncak Fafobaho berlokasi di Kelurahan Lamberea, Bungku Tengah. Objek wisata ini merupakan area rekreasi wisata alam. Dari puncaknya, pengunjung bisa mengamati Kota Bungku dari atas hingga bisa melihat Laut Banda. Untuk pergi ke sini, pengunjung bisa menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat. Aksesnya sedikit mendaki, namun usaha untuk mencapainya akan sebanding dengan pemandangan di puncaknya.
Meski terletak di Bungku Tengah, bukan hanya penduduk Morowali yang berwisata ke sini,. Penduduk dari Kabupaten Poso, Tojo Una-una, Morowali Utara, dan sebagainya juga berkunjung ke Puncak Fafobaho untuk melihat pemandangan Kota Bungku dari atas.
Baca Juga: 6 Wisata di Tanjung Redeb, Kabupaten Berau
Desa Wisata Sakita
Desa Sakita merupakan desa wisata yang memiliki pemandangan alam eksotis. Sangat banyak wisata alam yang bisa dieksplor di desa ini. Sekitar enam puluh persen (60%) kontur Desa Sakita merupakan pegunungan. Perpaduan lembah, gunung, dan bukit membuat desa ini menomorsatukan wisata alamnya. Beberapa objek wisata yang dapat dikunjungi ialah Air Terjun Sampala, Rampea Sina, dan Puing Benteng Fafolobani. Dari desa ini bisa terlihat pemandangan Kota Bungku lengkap dengan Laut Banda.
Jika akan berkunjung ke Desa Sakita, pastikan untuk menggunakan kendaraan beroda dua. Jalur pegunungan yang mendaki menjadi sangat rawan untuk kendaraan beroda empat.
Masih berupa wisata alam, air terjun ini berada di Desa Sakita, Kecamatan Bungku Tengah. Air terjun ini belum banyak dikunjungi karena aksesnya yang cukup jauh dari perkampungan terdekat. Jika berjalan kaki akan membutuhkan waktu sekitar satu jam, namun jika menggunakan sepeda motor akan memakan waktu sekitar 15 menit. Desa Sakita juga merupakan desa wisata dan memiliki banyak air terjun terkenal, salah satunya adalah Air Terjun Sampala ini.
Kuliner Kota Bungku
Makanan asli dari Kota Bungku adalah Dunui. Dunui adalah makanan yang terbuat dari sagu dan berperan sebagai pengganti nasi. Karena bentuknya yang sama, di tempat lain dunui punya sebutan lain. Di Maluku dikenal sebagai papeda, dan di Sulawesi Selatan dikenal sebagai Kapurung.
Dunui sendiri merupakan santapan spesial dan disajikan untuk keluarga yang datang dari jauh, atau bisa dibilang mudik. Mengolah sagu menjadi dunui perlu keterampilan khusus. Kalau salah dalam perhitungan rasio bahan ataupun perhitungan cara memasak, dunui akan menjadi lore. Lore sendiri berarti istilah untuk dunui yang gagal produksi, terlalu encer dan sangat panas.
Keunikan Kota Bungku
Bahasa yang digunakan di kota ini umumnya Kota Bungku, namun adanya asimilasi budaya dengan pendatang, sudah banyak yang menggunakan Bahasa Indonesia. Orang Bungku senang tinggal di daerah pedalaman, karena mereka menganggap bisa dekat dengan leluhur.
Mayoritas masyarakat Bungku menganut agama Islam Sufi. Meski begitu, mereka masih memiliki kepercayaan animisme. Kepercayaan animisme tradisional masih sangat dijaga. Contohnya saja masih banyak yang percaya dengan dukun, serta kepercayaan pada roh-roh dan melakukan berbagai ritual.
Kebudayaan Kota Bungku
Etnis Bungku memiliki beraneka ragam kesenian seperti seni beladiri silat dan seni tetabuhan. Karena masih satu rumpun dengan kabupaten dan kecamatan di sekitarnya, kesenian yang dimiliki bisa dipastikan punya kesamaan. Kesenian beladiri silat dari etnis Bungku ialah kontaw dan manca, sementara seni tetabuhan terdiri dari ndengu-ndengu, ganda, dan rabana.
Selain itu terdapat juga seni suara dan seni tari. Seni suara terdiri dari tindi, kabia, dan kayori. Untuk seni tari terdiri dari luminda, modero, dan moja’i.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.